Penyakit Antraknosa
Patogen tanaman merupakan salah satu organisme pengganggu tanaman (OPT) yang mempengaruhi fungsi fisiologis tanaman. Fungsi fisiologis tanaman merupakan rangkaian aktifitas pada tanaman untuk melangsungkan hidup salah satunya adalah fotosintesis. Fotosintesis adalah proses pembentukkan energi dari CO2 dan H2O, selanjutnya energi yang dihasilkan digunakan untuk pembentukkan organ tanaman, salah satunya adalah pembentukan buah. Gangguan fungsi fisiologis yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman menyebabkan tanaman sulit untuk berbuah bahkan sampai tidak menghasilkan buah (Sibarani, 2008).
Cendawan merupakan salah satu OPT yang dilaporkan banyak menyerang tanaman hortikultura. Cendawan yang menyerang tanaman hortikultura pada umumnya adalah Botryodiplodia sp., Fusarium sp., Chepalosporium sp., dan yang sering menyebabkan penyusutan hasil produksi adalah Colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa yang menyerang baik pada saat prapanen, penyimpanan (di pedagang pengumpul), dan saat pemasaran (di pasar buah dan pasar swalayan) (Sari, 2006).
Jamur Colletotrichum sp. dapat menginfeksi cabang, ranting, dan buah. Infeksi pada buah biasanya terjadi pada buah menjelang tua dan sudah tua. Gejala diawali dari bintik-bintik kecil yang berwarna kehitam-hitaman dan sedikit melekuk. Serangan lebih lanjut mengakibatkan buah mengerut, kering, membusuk dan jatuh (Sibarani, 2008).
Serangan penyakit antraknosa pada buah cabai matang lebih parah dibandingkan dengan buah yang belum matang (masih hijau). Buah cabai yang matang, selain mengandung glukosa dan sukrosa, juga mengandung fruktosa, buah yang masih hijau hanya mengandung sukrosa dan glukosa. Diduga fruktosa merupakan jenis gula yang mempunyai korelasi dengan penyakit antraknosa (Tenaya, 2001).
Colletotrichum capsici Penyebab Antraknosa
Colletotrichum capsici diklasifikasikan dalam kingdom Fungi, filum Eumycota, kelas Basidiomycetes, ordo Sphaeriales, familia Polystigmataceae, genus Colletotrichum, spesies Colletotrichum capsici (Singh 1998 dalam Sibarani, 2008).
Pertumbuhan jamur Colletotrichum capsici sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, salah satunya pH. Derajat keasaman (pH) optimal untuk pertumbuhan jamur C. capsici yang baik adalah pH 5. Periode inkubasi Colletotrichum capsici antara 4-6 hari setelah inokulasi. Suhu optimum untuk pertumbuhan jamur antara 24-30 oC dengan kelembaban relatif 80-92 % (Wiryanta, 2002).
Tahap awal dari infeksi C. capsici umumnya terdiri dari konidia dan germinasi pada permukaan tanaman dan menghasilkan tabung kecambah. Setelah penetrasi maka akan terbentuk jaringan hifa. Hifa intra dan intraseluler menyebar melalui jaringan tanaman. Spora C. capsici dapat disebarkan oleh air hujan dan pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat (Sibarani, 2008).
Pengendalian Antraknosa dengan Cairan Hasil Fermentasi
Limbah Udang
Pengendalian penyakit antraknosa sampai saat ini masih menggunakan pestisida sintetik, pada dasarnya 30% pestisida akan terbuang ke tanah pada musim kemarau dan 80% terbuang ke perairan pada musim hujan (Suryaningsih dan Hadisoeganda, 2004).
Pengendalian secara alami dengan menggunakan pestisida alami perlu dilakukan untuk mengurangi bahan kimia berbahaya yang ada pada pestisida kimia seperti sulfat tembaga yang berbahaya pada kesehatan. Salah satunya yang akan dicoba adalah kitosan, salah satu bahan alami yang telah direkomendasikan sebagai elicitor resistensi pada produk pasca panen yang dihasilkan dari proses deasetilasi kitin cangkang kepiting atau eksokleton udang (Wilson and El Ghaouth, 1993).
Kitosan dapat dibuat dari senyawa kitin yang banyak terkandung di cangkang binatang, diantaranya pada cangkang udang atau hewan laut lainnya Seluruh tubuh udang terdiri atas ruas-ruas yang terbungkus oleh kerangka luar atau eksoskeleton dari zat tanduk atau kitin dan diperkuat oleh bahan kapur kalsium karbonat. Limbah cangkang udang mengandung konstituen utama terdiri dari protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen, mineral dan lain-lain. Kitin dari limbah cangkang udang dapat diubah menjadi kitosan melalui beberapa tahapan proses (Zulfahmi dan Sabeth, 2010).
Menurut Kaban (2009) kitosan yang diperoleh dari kulit crustacea mampu menghambat pertumbuhan jamur dan bakteri yang bersifat patogen dan menyebabkan resistensi tumbuhan terhadap infeksi jamur dan virus. Kaban (2009) juga melaporkan bahwa efek penghambatan meningkat segera setelah daun tanaman diberi kitosan. Resistensi terhadap jamur berkaitan dengan destruksi hidrolitik dinding selnya oleh kitinase tanaman dan glukonase serta pelepasan kitosan yang menginduksi sintesis phytoalexin. Produk ini berpotensi untuk menekan pertumbuhan jamur.
Kitosan memiliki efek yang besar pada pertanian, yaitu menjadi sumber dari bakteri karbon dalam tanah, meningkatkan proses perubahan bahan organik menjadi materi anorganik dan memfasilitasi sistem akar tanaman untuk menghasilkan lebih banyak nutrisi dari tanah. Kitosan diserap oleh akar setelah didekomposisi oleh bakteri di dalam tanah (Somashekar and Richard, 1996 dalam Syurikha, 2012).
Kitosan dapat diperoleh dari proses fermentasi limbah udang. Fermentasi dalam arti luas adalah proses perubahan kimia dari senyawa-senyawa organik (karbohidrat, protein, lemak dan bahan organik lain) melalui kerja enzim yang dihasilkan mikroba. Fermentasi dapat dilakukan dengan cara alami dan juga dapat dilakukan dengan penambahan bakteri (Higa dan Wididana, 1998 dalam Syurikha, 2012).
Bakteri Bacillus sp.
Bacillus sp. berbentuk benang, bersel satu, berukuran 0.5 - 2.5 x 1.2-10 µm, bersifat aerob atau anaerob fakultatif serta heterotrof, katalase positif, sel gerak yang membentuk endospora elips lebih tahan daripada sel vegetatif terhadap panas, kering, dan faktor lingkungan lain yang merusak.
Permukaan sel bakteri ditumbuhi merata flagelum ferritikus. Bacillus sp. dapat bertahan hidup pada suhu -5 sampai 75oC, dengan tingkat keasaman (pH) antara 2-8 (Soesanto, 2008).
Bakteri Bacillus sp. diklasifikasikan ke dalam Kingdom Prokaryotae, Divisi Bakteria, Kelas Schizomycetes, Ordo Eubacteriales, Famili Bacilliaceae, Genus Bacillus, Spesies Bacillus spp. (Hatmanti,2003).
Bacillus sp. di dalam tanah memanfaatkan eksudat akar dan bahan tanaman mati sebagai sumber nutrisinya. Apabila kondisinya tidak sesuai bagi pertumbuhannya, misalnya karena suhu tinggi, tekanan fisik dan kimia, atau hara, bakteri akan membentuk endospora. Pembentukan endospora terjadi selama lebih kurang 8 jam dan dapat bertahan selama 6 tahun (Soesanto, 2008).
Bacillus sp. merupakan salah satu kelompok bakteri gram positif yang sering digunakan sebagai pengendali hayati penyakit akar. Anggota dari genus ini memiliki kelebihan, khususnya karena bakteri membentuk spora yang mudah disimpan, mempunyai daya tahan hidup lama, dan relatif mudah diinokulasi ke dalam tanah. Bacillus sp. telah terbukti memiliki potensi sebagai agen pengendali hayati yang baik, misalnya patogen tular tanah R.solani (Soesanto, 2008).
Bacillus sp. dapat menghasilkan fitohormon yang memengaruhi pertumbuhan tanaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung fitohormon tersebut adalah meningkatkan petumbuhan tanaman dan dapat bertindak sebagai fasilitator dalam penyerapan beberapa unsur hara dari lingkungan. Secara tidak langsung, fitohormon menghambat aktivitas patogen pada tanaman (Djatmiko et al., 2007 dalam Syurikha 2012).
Mekanisme penghambatan bakteri antagonis Bacillus sp. adalah melalui antibiosis, persaingan, dan pemacu pertumbuhan. Bacillus sp. menghasilkan antibiotika yang bersifat racun terhadap mikroba lain (Soesanto, 2008).
Maskuri (2009) melaporkan bahwa bakteri Bacillus sp. Isolat B298 mampu menekan intensitas penyakit layu bakteri Ralstonia solanacearum pada tanaman kentang dengan tingkat keefektifan sebesar 51,18%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka Bacillus sp. isolat B298 ditambahkan pada fermentasi limbah udang untuk menekan kejadian penyakit antraknosa pada buah cabai merah.
Sumber: http://chyrun.blogspot.com